Anjing Musim Semi

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor anjing yang sangat pandai menyembunyikan perasaannya. Ada seuntas tali yang mengelilingi lehernya, terikat pada sebuah pohon rindang. Ia selalu berada di bawah pohon rindang itu sepanjang musim semi.

 

Anjing itu selalu mengibaskan ekornya yang pendek dan bertingkah sangat menggemaskan. Ia mendapatkan julukan, si “Anjing Musim Semi” dari penduduk desa, karena tingkahnya yang ceria dan mengingatkan orang-orang pada hangatnya musim semi yang berwarna.

 

Pada siang hari, Ia selalu bersenang-senang bermain dengan anak-anak warga di sekitarnya. Namun, pada malam hari, Ia justru merintih seperti tengah merasa kesakitan ketika semua orang telah kembali ke rumah.

 

Sebenarnya, Anjing Musim Semi ingin sekali melepaskan tali yang melingkar di lehernya agar bisa berlari bebas di padang rumput yang luas. Namun, Ia tidak bisa melepaskannya, sehingga Ia akan menangis setiap malam.

 

Suatu hari, hati kecil Anjing Musim Semi itu berkata, “Hey, bagaimana kalau kau potong saja tali ini dan pergi melarikan diri?”

 

Anjing Musim Semi lalu menjawab, “Aku… sudah terikat di sini terlalu lama, jadi aku lupa bagaiamana cara untuk melepaskannya dan membiarkan diriku terbebas”

 

It’s Okay to Not be Okay adalah salah satu dari sedikit serial drama Korea (K-Drama) yang membahas topik kesehatan mental secara langsung. Drama ini menceritakan kisah Ko Moon Young (diperankan oleh Seo Yeaji), seorang sociopath1 yang juga berkarir sebagai penulis buku anak-anak bergaya gothic dan tingkah laku yang serba nyentrik, Moon Gang Tae (diperankan oleh Kim Soohyun), seorang perawat yang bekerja di sebuah bangsal psikiatri2 rumah sakit, dan Moon Sang Tae, kakak dari Moon Gang Tae, seorang seniman berbakat yang juga merupakan seseorang dalam spektrum autisme.

 

Sekilas, kita mungkin akan beranggapan bahwa cerita ini hanyalah sebatas drama romansa pada umumnya, tetapi, lebih dari itu, cerita ini bukanlah sebatas tuturan romansa manis. Salah satu hal yang paling saya suka dari kisah ini adalah bagaimana cara penulis dan sutradara mengemas drama It’s Okay to Not be Okay menggunakan kiasan dongeng-dongeng klasik sebagai bagian dari “katalisator” cerita para tokohnya. Bahkan lebih jauh lagi, sebagai medium untuk mengeksplorasi isu kesehatan mental dilihat dari keseluruhan spektrum. “Anjing Musim Semi” adalah salah satu dongeng dalam drama ini yang rasanya sangat dekat di hati, begitupun relevansinya dengan peran kesehatan mental yang masih sering dianggap “remeh” oleh masyarakat.

 

Saat kita pertama kali bertemu Ko Moon Young di episode pertama, caranya berperilaku serta reaksi impulsifnya yang meledak-ledak, secara tidak heran akan membuat siapapun bergedik “ngeri” terhadap sosoknya. Tentu sangat mudah bagi kita untuk menilai orang lain dalam sepersekian detik: tidak sabaran, tidak sopan, angkuh, seenaknya, mengerikan. Namun, seiring berjalannya cerita, kita diajak untuk memahami bahwa perilaku Ko Moon Young yang nyentrik itu merupakan sebuah tameng untuk menyembunyikan kegelisahan batinnya dan gejolak yang ditekan akibat luka dari trauma masa kecilnya yang belum sembuh.

 

Bagaikan seekor Anjing Musim Semi yang pandai sekali menyembunyikan perasaannya di siang hari, Ko Moon Young adalah representasi diri seseorang yang tidak pernah diajarkan bagaimana cara untuk mengekspresikan perasaannya dalam suasana pengasuhan masa kecil yang terasa aman. Mimpi buruk tentang ibunya yang kasar secara emosional membuatnya lumpuh karena ketakutan setiap malam, hingga menyebabkan Ko Moon Young mengembangkan coping mechanism3 yang keliru untuk menyerang orang-orang di sekitarnya. Sementara dirinya telah mencapai ketenaran dan kesuksesan sebagai penulis buku anak-anak, jelas bahwa dirinya yang sebenarnya masih terkurung dalam trauma masa lalu. Bahkan, dalam buku-bukunya, mimpi-mimpi buruknya Ia gambarkan sebagai sebuah kastil terkutuk. Disfungsi yang tertanam dalam keputusasaannya karena tidak pernah bisa pergi dari kastil terkutuk itu pada awalnya tampak seperti beban yang tidak dapat diatasi oleh dirinya sendiri, tetapi dengan bantuan Moon Kang Tae dan kehadiran Moon Sang Tae di kehidupannya, mereka semua belajar untuk menerima satu sama lain dan diri mereka sendiri apa adanya.

 

Mengadopsi teori Freud tentang keadaan mental manusia, perilaku manusia juga dapat digambarkan sebagai sebuah bongkahan es yang besar di laut terbuka, di mana perilaku yang tampak dari luar dapat diibaratkan sebagai bagian atas es yang muncul ke permukaan air, yang dipengaruhi oleh banyak sekali faktor yang tidak terlihat pada bagian bawah es yang tenggelam. Ada lebih banyak cerita dalam diri setiap orang daripada apa yang bisa kita lihat dari luar. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita seringkali justru menjadi sosok yang tidak membiarkan orang lain mengenal siapa diri kita sebenarnya, seperti Anjing Musim Semi yang sudah terlalu lama membiarkan dirinya terikat di bawah pohon rindang hingga lupa bagaimana cara melepasnya, kita pun seringkali terbiasa memendam dan menyembunyikan banyak cerita dalam diri hingga kita pun lupa bagaimana cara untuk melepaskan cerita-cerita ini agar tidak menjadi tahanan dalam diri yang sewaktu-waktu mungkin akan memberontak.

 

Dari kisah Anjing Musim Semi dan sosok Ko Moon Young, kita diajak untuk percaya bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja dan penting bagi kita untuk memahami bahwa menolak untuk menerima perasaan yang sedang kita rasakan tidak akan membuat rasa itu hilang begitu saja, justru sebaliknya, akan tertanam dalam hati seperti bom waktu yang dapat menjadi boomerang bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Mengekspresikan perasaan adalah suatu hal yang menjadikan diri kita semua manusiawi. The easiest way to move forward is to move through, merasakan dan menerima emosi yang sedang kita rasakan adalah satu-satunya cara untuk membiarkannya berjalan dan berlalu dengan sendirinya.

 

Sebagai anak-anak, banyak dari kita yang mungkin sering dihukum ketika melakukan sesuatu yang bisa saja ditafsirkan oleh figur otoritas, baik orang tua, guru, maupun masyarakat sebagai hal yang “buruk”, dan kita akan dihargai jika kita melakukan sesuatu yang dianggap “baik.” Seringkali kita mendengar, melihat, dicekoki, hingga terbiasa untuk percaya bahwa mengekspresikan perasaan adalah hal yang justru dianggap “buruk”, terutama dalam pola pengasuhan dan dinamika kehidupan keluarga Timur yang tidak terbiasa menornalisasi percakapan tentang perasaan di dalam rumah. Namun, mempertahankan fasad, berpura-pura menjadi “baik” sepanjang waktu ketika sejatinya diri kita tengah merasa sebaliknya, tentu akan melelahkan.

 

Belajar dari Ko Moon Young, ketika tengah mengalami masa-masa sulit, tidak ada yang salah untuk mencari dukungan dari orang-orang di sekitar kita. Anjing Musim Semi pun sejatinya bisa meminta bantuan untuk melepaskan ikatan tali di lehernya, namun, Ia memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku berharap bahwa, tidak seperti Anjing Musim Semi, justru akan lebih banyak lagi dari kita yang merasa tidak apa-apa untuk meminta bantuan. Tidak apa-apa meluangkan waktu sebanyak yang kita butuhkan untuk pulih dari kesedihan dan keputusasaan. Belajar dari sosok Ko Moon Young juga, kita diajak untuk mengajarkan diri kita agar berhati-hati dalam berkata dan berperilaku terhadap orang lain, karena kita semua, secara sadar maupun tidak, sama-sama tengah menghadapi luka masing-masing.

 

 

Notes:

  • Pola perilaku yang seringkali diasosiasikan dengan individu pengidap gangguan Antisocial Personality Disorder (APSD). Gangguan ini ditandai dengan pola perilaku sembrono—seringkali mengarah pada tindakan kriminal—, tipu daya/manipulasi, agresi, dan pengabaian perasaan orang (APA, 2022).
  • Cabang iilmu kedokteran yang berfokus pada kesehatan jiwa.
  • Perilaku yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah yang dapat menimbulkan stress dengan menghindari, menjauhi dan mengurangi stress atau dengan menyelesaikan dan mencari dukungan sosial.

 

08.10 Karya Tulis 0

Post details

Leave a Reply

Social