Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan dua hal yaitu dengan ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata.
Sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan Allah dengan pedang.”
Karena menjaga syari’at adalah dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu. Tidaklah bisa seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi ghonimah (harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu itulah dasar segalanya”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 108)
Di halaman yang sama, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah ilmu agama yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?”
Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah. Artinya jika sebagian sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Akan tetapi menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia untuk berjihad, maka tidaklah masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib saat kaum muslimin diserang oleh musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut untuk berjihad. Mereka hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula kaum wanita hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk menyerang musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap pria.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)
Dalil Pendukung
Adapun dalil yang mendukung bahwa menuntut ilmu termasuk jihad adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)
“Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqon: 51-52).
Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad, “Surat ini adalah Makkiyyah (turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, -pen). Di dalam ayat ini berisi perintah berjihad melawan orang kafir dengan hujjah dan bayan (dengan memberi penjelasan atau ilmu, karena saat itu kaum muslimin belum punya kekuatan berjihad dengan senjata, -pen). … Bahkan berjihad melawan orang munafik itu lebih berat dibanding berjihad melawan orang kafir. Jihad dengan ilmu inilah jihadnya orang-orang yang khusus dari umat ini yang menjadi pewaris para Rasul.”
Dalam hadits juga menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari jihad. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ
“Siapa yang mendatangi masjidku (masjid Nabawi), lantas ia mendatanginya hanya untuk niatan baik yaitu untuk belajar atau mengajarkan ilmu di sana, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang mentilik-tilik barang lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad 2: 418, shahih kata Syaikh Al Albani).
Jihad terambil dari kata al-juhdu artinya kekuatan dan kemampuan. Ada yang berpendapat kata al juhdu bisa dibaca al jahdu yang berarti kesulitan dan kesukaran Jadi al-juhdu atau al-jahdu Berarti pengerahan kekuatandan kemampuan untuk sesuatu yang lain dengan segala kesulitan dan kesukarannya. Kata jihad merupakan masdar dari jahada seperti dalam kalimat, “Jahada fulanul aduwwuhu yang artinya, Fulan melawan musuhnya dengan mengerahkan usaha, atau masing-masing mengeluarkan usaha dan kekuatan untuk menolak lawan-lawannya.264 Dari arti-arti yang ditunjukan seperti tersebuat di atas, jihad berarti aksi diantara dua belah pihak, dengan mengerahkan usaha. Usaha yang keras, dan sungguh-sungguh untuk memperoleh kemenangan.
Pengertian etimologi yang tersebut di atas mencakup pula didalamnya makna al-Qital (perang bersenjata) puncak pengerahan tenaga. Mengajak (dengan lisan) dalam mengemukakan bantahan dengan kata-kata dan argumentasi terhadap orang-orang kafir dan para penantangnya. Dari kajian sepihak tentang makna jihad baik dari segi bahasa (etimologi) maupun terminologinya, membawa kita kepada pemahaman dan semakin menyadari akan adanya hukum alam atau sunatullah tentang permusuhan dan dominasi sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, karena adanya perbedaan diantara mereka, dan segala hal yang diakibatkan oleh perbedaan, apakah itu berupa permusuhan maupun peperangan yang berlangsung antara kebaikan dan keburukan, hak dan batil, Islam dan kufur, sunah dan bid’ah, jalan lurus dan menyimpang dan bentuk-bentuk pertentangan lainnya diantara manusia, diakibatkan diantara mereka (Al-Hilal, 2018).
Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan dua hal yaitu dengan ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata. Sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan Allah dengan pedang.” Menjaga syari’at harus dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu. Tidaklah bisa seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi ghonimah (harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu itulah dasar segalanya.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah ilmu agama yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka?
Apa hukum jihad bagi orang yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?” Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu wajib.
Adapun dalil yang mendukung bahwa menuntut ilmu termasuk jihad adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)
“Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqon: 51-52).
Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad, “Surat ini adalah Makkiyyah (turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah)
Di dalam ayat ini berisi perintah berjihad melawan orang kafir dengan hujjah dan bayan (dengan memberi penjelasan atau ilmu, karena saat itu kaum muslimin belum punya kekuatan berjihad dengan senjata). Bahkan berjihad melawan orang munafik itu lebih berat dibanding berjihad melawan orang kafir. Jihad dengan ilmu inilah jihadnya orang-orang yang khusus dari umat ini yang menjadi pewaris para Rasul.”
Dalam hadits juga menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari jihad. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ
“Siapa yang mendatangi masjidku (masjid Nabawi), lantas ia mendatanginya hanya untuk niatan baik yaitu untuk belajar atau mengajarkan ilmu di sana, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang mentilik-tilik barang lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad 2: 418, shahih kata Syaikh Al Albani).
Bersedekah dengan harta benda merupakan amaliyah yang sangat mulia dan pahalanya begitu besar. Akan tetapi ada cara bersedekah yang lebih utama dan dampaknya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan bersedekah harta. Yaitu bersedekah dengan mengajarkan ilmu terutama yang dapat membuat seseorang manusia lebih mendekat kepada Allah dan memperbaiki diri.
Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah;
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ يَتَعَلَّمَ الْمَرْءُ الْمُسْلِمُ عِلْمًاثُمَّ يُعَلِّمُهُ اَخَاهُ الْمُسْلِمَ.
Nabi Muhammad SAW bersabda: Lebih utamanya sedekah adalah seorang muslim yang belajar suatu ilmu lalu kemudian ia mengajarkan ilmu itu kepada saudaranya sesama muslim.
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa mudahnya bagi seorang muslim yang mempunyai ilmu dalam memperoleh pahala sedekah. Dengan ilmunya ia dapat meraih ganjaran sedekah bahkan lebih utama dari sedekah lainnya seperti sedekah dengan harta benda. Sebab bersedekah ilmu akan abadi bahkan dapat mengubah keadaan dan perilaku dari seseorang. Bisa jadi dengan satu ilmu yang kita ajarkan dengan ikhlas dapat membuat saudara muslim lainnya memperoleh hidayah, memperoleh pencerahan, untuk membenahi diri sehingga menjadi semakin baik. Maka ketika seseorang berubah menjadi lebih baik terutama taat kepada Allah dengan dilatarbelakangi ilmu yang disampaikan, maka pemberi ilmu itu pun memperoleh pahala yang sangat besar.
Salah satu keutamaan dan kemuliaan menuntut ilmu adalah jihad yang paling agung, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu atau menuntut ilmu, maka dia termasuk orang yang berjihad fisabilillah sampai ia kembali” (H.R. At-Tirmidzi). Oleh karena itu, kita tidak boleh meremehkan usaha para ilmuwan yang berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Kita seharusnya menjadikannya teladan dalam memperbaiki diri kita. Karena, ilmu amatlah penting dalam kehidupan dan merupakan salah satu jihad yang paling agung. Allah SWT sudah memberikan banyak kenikmatan, salah satunya adalah nikmat bisa mencari ilmu. Jika kita tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin, maka kita akan menjadi salah satu golongan yang rugi.
Sumber:
Al-Hilal, Y. A. H. (2018). Makna Jihad dalam Perspektif Pendidikan Islam. Istighna: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 1(2), 144-152.
https://klikbmi.com/menuntut-ilmu-adalah-jihad-mengajarkannya-merupakan-sedekah/
https://rumaysho.com/3383-menuntut-ilmu-bagian-dari-jihad.html
https://alhaqcentremalaysia.com/?p=833