Kenapa Kita Tidak Bahagia?

Hai, readers! Gimana, udah merasakan bahagia hari ini? Semoga kita semua bisa terus menciptakan kebahagiaan untuk diri kita sendiri, ya.

Kenalin dulu, aku Ghassani Awanis tapi biasanya dipanggil Sani atau Sunny juga boleh, biar berasa jadi sinar matahari buat kalian semua xixi. Sekarang aku menginjak di semester tiga dengan beberapa kegiatan yang di jalanin juga. Aku suka banget menulis apa yang aku rasakan dan semoga tulisan ini bisa membawa manfaat buat kalian ya. Ngomong-ngomong, di sekitar aku tuh sering banget ada curhatan tentang betapa beratnya hidup. Katanya kehidupan itu bikin bingung dan cemas terutama kalau udah nyangkut soal “kebahagiaan.”

Well, dari obrolan-obrolan ini aku ketemu buku yang ternyata bisa kasih perspektif baru tentang hidup dan kebahagiaan: Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Mungkin kalian udah pernah dengar, ya? Buku ini mengulas filosofi Stoisisme dari Yunani Kuno yang ternyata udah lebih dari 2000 tahun usianya. Menariknya, filosofi ini justru menekankan pada pentingnya kestabilan emosi di tengah segala hal yang terjadi di sekitar kita. Soalnya banyak dari kita belum bisa bahagia karena terlalu fokus pada hal-hal di luar kendali. Jadi ini bukan hanya soal teori tapi bisa banget diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Kalau bicara soal kebahagiaan, Pasti berkaitan erat dengan fokus kita terhadap hal yang bisa atau tidak bisa dikendalikan. Nah, coba ngaku deh kalian. Selama ini lebih sering fokus ke hal-hal yang bisa dikendalikan atau malah berfokus pada hal hal yang tidak bisa kalian kendalikan?

Sayangnya, kebanyakan orang justru cenderung terjebak dengan hal-hal di luar kendali mereka. Akhirnya, ini yang sering bikin kita lelah, stres, bahkan merasa nggak bahagia. Padahal, dalam Stoisisme kunci untuk hidup bahagia dan tangguh itu adalah dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan mengikhlaskan yang di luar kendali kita. Jadi filosofi ini mengajarkan bahwa kita nggak perlu terpaku pada apa yang nggak bisa kita kendalikan. Contohnya nih misal minggu depan ada Ujian Akhir Semester. Kalau kamu fokus pada rasa khawatir takut nilai kamu jelek, IPK turun, atau mengecewakan orang tua otomatis pikiran kita akan semakin terbebani. Yang seharusnya kita fokuskan adalah persiapan belajar dan usaha maksimal untuk ujian itu sendiri. Ketika kita sudah fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, rasa khawatir dan kecewa itu jadi berkurang dengan sendirinya.

Ada contoh lain yang mungkin kamu pernah alami yaitu saat kita terpaku pada masa lalu. Misalnya ada yang berpikir “Aku dari dulu emang nggak bisa ngomong di depan umum, jangankan di depan panggung, di kelas aja gemetaran”. Karena merasa itu kelemahan akhirnya orang ini menghindari kesempatan buat berbicara di depan umum, merasa hal ini udah jadi ‘takdirnya’. Padahal, kemampuan bicara di depan umum bisa banget dilatih. Misalnya dengan mulai ngomong di depan cermin atau berlatih bicara di depan teman-teman. Selama kita mau usaha, apa pun bisa ditingkatkan!

Prinsip Stoisisme juga ngajarin bahwa emosi kita dipengaruhi oleh cara pandang kita. Kalau dari awal kita membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi, contoh kecilnya kita ikut sebuah perlombaan tapi fokusnya kepada hasil maka otomatis jadi nggak maksimal. Tapi coba kalau dari awal kita punya pikiran positif dan yakin pada usaha yang dilakukan, pasti hasilnya juga jadi lebih optimal. Dengan pola pikir kayak gini bahkan kalau hasilnya nggak sesuai harapan, kita nggak terlalu kecewa karena kita tahu kita udah berusaha sebaik mungkin.

Prinsip penting lainnya adalah soal ekspektasi. Kita sering kali menaruh ekspektasi tinggi pada orang lain padahal ekspektasi ini sering jadi sumber kekecewaan. Misalnya kadang kita takut mencoba bukan karena nggak yakin dengan kemampuan sendiri tapi takut mengecewakan ekspektasi orang lain. Dalam Stoisisme, nggak apa-apa buat nggak memenuhi ekspektasi semua orang karena proses belajar itu wajar kalau nggak mulus. Justru, ekspektasi berlebihan pada orang atau situasi di luar kendali yang membuat kita merasakan kecewa.

Dari prinsip-prinsip di atas, Filosofi Teras merangkum bahwa kebahagiaan itu hadir ketika kita fokus pada hal-hal yang ada dalam kendali kita. Misalnya:

  • Hal-hal di luar kendali kita: tindakan dan opini orang lain, reputasi atau popularitas kita, kesehatan, Orang tua, kondisi kelahiran kita (jenis kelamin, suku, warna kulit), dan masih banyak lagi.
  • Hal-hal di bawah kendali kita: cara pandang kita, keinginan kita, tujuan yang kita tetapkan, pikiran, dan tindakan kita sendiri.

Salah satu kutipan favorit aku dari buku ini adalah “We suffer more in imagination than in reality,” artinya “Kita lebih menderita dalam imajinasi daripada di kenyataan.” Jadi, yuk kita hentikan kebiasaan menyiksa diri dengan pikiran-pikiran yang belum tentu terjadi. Kalau kita tenang dan fokus pada diri sendiri, semua lebih mudah ditangani.

Pada dasarnya, kita adalah apa yang kita pikirkan. Mulai sekarang, kendalikan pikiran kita bukan orang lain atau hal-hal yang di luar kendali kita. Dengan begitu, kebahagiaan akan lebih mudah kita temukan.

 

31.10 Karya Tulis, Pengalaman Pribadi, Seputar Kuliah 0

Post details

Leave a Reply

Social