Halo, hello, nǐ hǎo, bonjour, annyeonghaseyo, kon’nichiwa!
Apa kabar akang/teteh KMBK dan teman-teman pembaca lainnya? Semoga dalam keadaan sehat fisik dan mental, ya! Sebelumnya, terima kasih sudah berkenan membaca tulisan singkat ini. Secara cepat aku akan berbagi pengalaman pribadiku, yang semoga dapat memotivasi dan memberikan inspirasi untuk teman-teman pembaca.
1 April 2023
HARVARD COLLEGE ADMISSIONS & FINANCIAL AID
Dear Yohanna,
… I am very sorry to inform you that we cannot offer you admission to the class of 2027.
Deg. Sudah kuduga. Waktu itu rasanya tidak terlalu terkejut sebenarnya. Iya, pemberitahuan di atas menyatakan kegagalanku (lagi), entah yang ke berapa kalinya. Kecewa? Banyak bukan lagi sedikit. Marah? Apalagi sama diri sendiri. Meski begitu, Papaku sempat bilang, “lebih baik gagal daripada menyesal tidak pernah mencoba.” Tahun lalu aku menyibukkan diri dengan persiapan pendaftaran kuliah ke luar negeri, spesifiknya ke Harvard dan Stanford University. Siapa yang pernah menduga, ternyata aku, si anak sulung calon first generation (generasi pertama yang akan menempuh perkuliahan) membuka jalan untuk adik-adik tingkat di sekolahnya untuk mendaftarkan kuliah ke luar negeri tanpa berbekal apa pun, kecuali keinginan dan tekad.
Surat rekomendasi beberapa guru, berbagai macam esai, portal Common App dan College Board, tes Scholastic Aptitude Test (SAT), penyetaraan Bahasa Inggris melalui IELTS, dokumen pendukung dalam Bahasa Inggris, dan tumpukan dokumen lain yang harus dikumpulkan dalam waktu terbatas adalah pikiran di alam lainku, selain harus menyelesaikan UAS dan US. Karena pikiran-pikiran itu, Yohanna, anak yang paling nekad ini, akhirnya punya jam tidur yang super berantakan. Hampir setiap hari hobinya tidur jam 2-3 pagi untuk menyelesaikan dokumen persyaratan pendaftaran. Belum lagi tugas akhir yang sifatnya project-based, pentas seni, ekstrakurikuler paduan suara, dan common myth lain yang menjadi ekspektasi orang-orang untuk para applicant yang kuliah ke luar negeri. Luar biasa.
Rasa-rasanya, waktu itu berat sekali. Seperti yang sudah ku bilang, jam tidur yang berantakan, koneksi sosial menjadi terbatas, pola makan tidak beraturan, dan beragam informasi lain yang sebenarnya agak mendidihkan pikiran di sosial media, overwhelmed. Bermimpi bisa menginjakkan kaki di kampus impianku adalah satu-satunya yang menjadi alasanku bertahan memperjuangkan prosesnya. Tapi, siapa yang tahu, kalau meskipun aku gagal, aku sempat berbincang dengan alumni Stanford di sesi wawancara dalam Bahasa Inggris. Seingatku, kami bertemu di Blue Doors 2, dekat daerah Paris Van Java (PVJ). Menarik sekali pokoknya saat berbincang dengan beliau apalagi dalam Bahasa Inggris. Kacamata perspektif akan belajar di luar negeri dari beliau semakin membuatku tertarik untuk pergi ke sana.
Lalu, kalau aku tarik lebih jauh lagi ke belakang, sejujurnya kegagalanku ini membuat aku belajar dan mengenal sangat banyak hal baru. Kalau ngga daftar kuliah ke luar negeri, mungkin aku ngga akan pernah tahu rasanya punya mentor dari Jepang, Australia, Inggris, dan Amerika. Kalau ngga daftar kuliah ke luar negeri, mungkin aku ngga akan pernah tahu rasanya revisi, proofreading dan mengulang topik esai yang baru di jam 10 malam. Kalau ngga daftar kuliah ke luar negeri, mungkin aku ngga akan pernah tahu rasanya paham dan punya wawasan yang lebih maju dari teman-temanku tentang portal pendaftaran kuliah di luar negeri karena aku sudah riset banyak tentang itu. Kalau ngga daftar kuliah ke luar negeri, mungkin aku ngga akan pernah tahu rasanya dapet surat rekomendasi dari guru-guru penting dan kepala sekolah yang sangat suportif.
Wah, banyak sekali hal baik yang ngga cukup aku sebutkan satu-satu. Setelah direnungi, memang betul apa kata papaku. “Lebih baik gagal daripada menyesal tidak pernah mencoba”. Aku bersyukur sekali waktu itu tidak berhenti di tengah-tengah proses pendaftaran (iya, aku sempat bilang sama sahabatku akan mundur, inisialnya V). Tapi meskipun aku maju dan gagal, aku rasa justru itu keputusan yang lebih baik. Menyerah dan berhenti atau bahkan tidak berani mencoba justru malah akan membatasi ruang tumbuhku. Pengalaman dan pelajaran unik yang aku temui kala itu ternyata memang menjadi kesempatan berharga yang tidak semua orang akan miliki.
Kalau kata lagunya IDGITAF “…Banyak mimpi yang terkubur, mengorbankan waktu tidur…” Betul, mengejar mimpi atau melakukan sesuatu yang baru pertama kali akan kita coba, pasti akan banyak merelakannya, banyak pengorbanannya. Rela waktu, tenaga, pikiran, energi dan uang (hehe). Pikiran dan diri kadang jadi penghalang yang ngga bisa disembunyikan. Tapi dari banyak kisah yang ku temukan, pada akhirnya aku tahu, justru yang terlalu cepat disemogakan hilangnya akan lebih cepat. Jadi, kejar dulu apa pun yang sedang ingin dicapai ditangan. Izinkan diri sendiri berani mengeksplorasi ruang-ruang yang masih belum pernah terjamah tangan. Sekiranya nanti banyak gagal dan ingin menyerahnya, gapapa. Kata IDGITAF, “Rangkai lagi.. Satu-satu.”
Terima kasih rekan-rekan pembaca sudah berkenan mengenal aku melalui cerita singkat ini. Semoga apa pun yang teman-teman dapat bukan menjadi pemicu untuk merasa tidak nyaman, melainkan mendobrak keberanian di masa yang akan datang. Sehat selalu fisik dan mental semuanya. Jika ingin menghubungi aku lebih lanjut, silakan kontak aku melalui Instagram @yohannavr_ atau email pribadi yohannareva79@gmail.com—siapa tau mau mengundangku menjadi speaker, hihi.
Salam sayang,
Yoyo.